Pakar Yunani Kuno Versus Pakar Muslim di Bidang Ilmu-Ilmu Eksakta
RasyaShare.COM - Matematika bangsa Yunani Kuno terbentuk dari bahan-bahan
tradisi bangsa-bangsa Sumaria, Babilonia dan Mesir Kuno, demikian pula halnya
Ilmu Pengetahuan Alam/sains, yang asasnya hanya pada observasi saja. Ilmu Ukur
diperkembang oleh pakar Yunani Kuno secara sistematis, dan mencapai puncak
kemajuannya dalam zaman Euclid.
Namun dalam bidang matematika yang lain yaitu ilmu hitung,
tidak memperolah kemajuan. Tidak ada pertambahan operasi, tetap hanya menambah,
mengurang, mengali dan membagi saja. Dengan demikian mereka itu hanya tetap
berkisar dalam bilangan rasional saja. Hal ini membawa akibat yang parah, ilmu
hitung tidak dapat mengikuti perkembangan ilmu ukur, sehingga ilmu ukur itu
berjalan sendiri tanpa dukungan ilmu hitung. Ada beberapa bagian dari Dialogue
Plato (427 - 347 SM) yang menunjukkan pemisahan itu mencapai puncaknya, artinya
keduanya sudah terpisah sama sekali dalam zaman Euclid.
Alhasil matematika di tangan bangsa Yunani Kuno pecah dua
dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Ilmu ukur maju melesat ke depan
meninggalkan ilmu hitung jauh di belakang. Dengan demikian matematika di zaman
Yunani kuno tidak mungkin dapat dipakai untuk menunjang sains/ilmu pengetahuan
alam dalam hal mengujicoba hasil penafsiran alam, sehingga sains hanya terpaku
pada teori yang sifatnya spekulatif. Maka asas Pendekatan Ilmiyah di zaman
Yunani Kuno terhenti hanya sampai penafsiran saja sebagai tahap lanjut dari
observasi.
***
Para Pakar Muslim kuno di zaman keemasan Islam (abad 7
sampai abad 13 Miladiyah) berhasil memperkembang ilmu ukur menjadi ilmu ukur
sudut dan ilmu ukur bola seperti yang kita kenal sekarang ini. Al Battani (858
- 929) mengganti busur dengan sinus, mempergunakan tangen dan kotangen. Abu
‘lWafa (940 - 997) mendapatkan metode baru untuk membuat tabel sinus,
memperkenalkan sekan dan kosekan.
Operasi dalam ilmu hitung diperlengkap dengan operasi akar
dan logaritme sebagai lawan pangkat. Dengan demikian ruang lingkup bilangan
menjadi lebih luas, yaitu bilangan irrasional dan imajiner. Kata-kata logaritme
dan algorism berasal dari nama orang yang mendapatkannya yaitu Al Khawarismi
(780 - 850).
Di tangan para pakar Muslim itu cabang-cabang matematika
yaitu itu ilmu hitung dan ilmu ukur diperkembang kemudian dijalin menjadi utuh
tidak terlepas seperti dalam keadaannya di tangan para pakar Yunani Kuno
tersebut. Maka menjadilah matematika itu sebagai disiplin ilmu yang menunjang
metode ujicoba dalam sains. Alhasil kebudayaan Islam (maksudnya kebudayaan yang
diisi oleh nilai-nilai non-historis, yaitu wahyu) dapat menyumbangkan metode
ujicoba yang memungkinkan lahirnya Ilmu Pengetahuan seperti yang kita miliki
sekarang ini.
Yang ideal bagi orang-orang Yunani Kuno adalah keindahan
visual. Inilah yang menjadi landasan ideologi mereka. Keindahan yang berasaskan
perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap. Wajah
manusia, patung, atau bentuk arsitektur, bahkan drama harus mempunyai
perbandingan-perbandingan tetap di antara bagian-bagiannya supaya indah. Keluar
dari hubungan angka-angka perbandingan itu mengakibatkan sesuatu itu “rusak”
bentuknya sehingga tidak menjadi indah lagi. Pola pemikiran ini menghasilkan
pandangan bahwa alam semesta ini merupakan kesatuan yang statis, oleh karena
bagian-bagian dari alam smesta ini harus mempunyai perbandingan yang dinyatakan
oleh hubungan angka-angka yang tetap. Alhasil, pengertian waktu bukanlah hal
yang perlu mendapat perhatian, oleh karena alam semesta ini statis. Bahkan
menurut Zeno dan Plato waktu adalah sesuatu yang tidak-nyata (unreal). Maka
dapatlah kita mengerti apabila para pakar Yunani Kuno hanya menghasilkan
matematika yang statis sifatnya, tidak mengandung unsur variabel dan fungsi.
Demikianlah idea orang Yunani Kuno yang menganggap ideal keindahan visual,
hanya dapat menghasilkan matematika yang statis.
Yang ideal bagi seorang Muslim bukanlah keindahan visual,
melainkan Yang Tak Terbatas, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat-sifatnya yang Maha Sempurna.
Pakar-pakar Muslim dituntun oleh akar yang non historis, yakni wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam, yaitu Al Quran. Dalam
Surat. Al Fathihah Allah disebut Rabbul’alamien, Maha Pengatur alam semesta.
Dengan demikian alam semesta ini tidak statis, melainkan dinamis. Dan unsur
penting dalam dinamika ialah waktu. Jadi menurut pandangan seorang Muslim waktu
itu riel, tidak seperti pandangan Zeno dan Plato di atas itu. Bahkan dalam Al
Quran ada sebuah surah yang bernama Surat. Al ‘Ashr. Surah ini dibuka dengan
kalimah wa-l’Ashri, yang artinya perhatikanlah waktu.
Masuknya faktor waktu dalam matematika, mengubah wajah
matematika itu menjadi baru sama sekali. Ilmu hitung diperkembang menjadi
aljabar. Unsur ilmu hitung yang statis yaitu bilangan, diperkaya dengan unsur
yang dinamis yaitu variabel dan fungsi. Dalam matematika ada dua cara dalam
menyatakan fungsi. Pertama yang langsung y(x), yang kedua melalui parameter
waktu x(t), y(t), yang ditampilkan oleh Al Biruni (793 - 1048). Umar Khayyam
menciptakan pula sejenis matematika yang disebutnya dengan al khiyam, sayang
ilmu itu tidak berkembang hingga dewasa ini.
Kesimpulannya dapatlah kita lihat pakar Yunani Kuno tidak
mampu mengembangkan matematika untuk dapat dipakai sebagai disiplin ilmu dalam
hal menunjang metode ujicoba dalam sains.
Para pakar Muslim Kuno telah berhasil memperkembang
matematika, sehingga dapatlah matematika itu dijadikan disiplin ilmu yang dapat
menunjang metode ujicoba dalam sains, sehingga sains dapat mencapai wujudnya
yang sekarang ini, yaitu observasi, penafsiran observasi yang menghasilkan
teori yang spekulatif kemudian dengan unsur ujicoba yang menyaring teori yang
spekulatif itu sehingga tidak spekulatif lagi. WaLlahu a’lamu bisshawab
Referensi : http://zilzaal.blogspot.com/2012/06/pakar-yunani-kuno-vs-pakar-muslim-di.html
0 komentar:
Posting Komentar