Recommended Post Slide Out For Blogger

Film Soegija dan Tudingan Propaganda

Film Soegija dan Tudingan Propaganda
RasyaShare.COM - Film yang mengetengahkan perjuangan seorang tokoh agama memang seringkali mengundang kontrovesi. Demikian pula dengan film Soegija, yang mengisahkan perjuangan seorang pastur bernama Mgr. Albertus Soegijapranata melawan tentara Jepang.

Sebagaimana film-film yang menyajikan nuansa keagamaan yang kental, film ini pun sempat menyulut kontraoversi. Sejumlah pihak menuding bahwa film tersebut adalah propaganda pihak Kristen, terutama Katolik, dalam mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia tentang sejarah.

Mereka mengatakan bahwa pihak Kristen ingin membesar-besarkan peran mereka dalam sejarah merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mengecilkan peran umat Islam. Mereka menyamakan film Soegija tersebut dengan film-film propaganda Yahudi seperti Schindler’s List ataupun The Pianist. Tudingan propaganda tersebut ditolak oleh para pemeran, sutradara dan produser film tersebut. Mereka mengatakan bahwa film itu adalah film tentang kemanusiaan dan jiwa nasionalisme seorang uskup Katolik. Tidak lebih dari itu.

Memang sulit untuk menolak tudingan propaganda tersebut. Sosok Soegija sebagai seorang pastur Katolik saja sudah membuat orang berpikir ada upaya untuk mengerdilkan perjuangan umat Islam Indonesia dalam melawan penjajah. Seandainya ada orang yang membuat film tentang Pangeran Diponegero yang hendak mendirikan kesultanan Islam sehingg terlibat konflik dengan Belanda, mungkin bakal banyak pula yang menganggap film itu sebagai propaganda membesarkan Islam.

Demikian pula jika ada yang membuat film yang menggambarkan Panglima Besar Jendral Soedirman sebagai seorang muslim yang taat dan pernah menjadi seorang guru mengaji.

Tanpa menafikan adanya kontribusi dari orang-orang non muslim terhadap perjuangan melawan penjajah, saham terbanyak memang dipegang umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Umat Islamlah yang paling banyak berlumuran darah, bercucuran keringat dan berurai air mata saat berjuang membebaskan negeri ini. Hal itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Namun kini, umat Islam memang telah kehilangan perannya sebagai golongan mayoritas. Mereka banyak yang terjebak dalam kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Bukan hanya umat Islam yang ada di kampung dan pedesaan tapi juga di kawasan kumuh di kota-kota besar.

Sehingga, kalaupun film tersebut tidak dianggap sebagai propaganda, namun tetap saja bisa melemahkan iman dan izzah mereka sebagai bagian dari kaum muslimin. Banyak diantara penikmat film di Indonesia bukanlah orang-orang yang kritis secara intelektual. Mereka hanya menikmati film sebagai hiburan. Sehingga, apapun yang ditayangkan sebuah film, akan dianggap sebagai kebenaran tanpa diteliti lebih lanjut. Mereka lupa bahwa dalam film seakurat apapun pasti ada unsur-unsur fiktif yang bisa disisipkan dan bisa saja ada materi propaganda di dalamnya.

Sejarah adalah sejarah yang telah berlalu. Hikmahnya bisa diambil dan pelajaran yang terkandung bisa dipetik, namun kehidupan berlangsung terus tanpa bisa dihentikan kecuali oleh Allah SWT saat kiamat nanti. Kita tidak bisa lagi bereaksi terlalu berlebihan dengan penuh ketakutan. Umat menunggu dakwah, perjuangan dan sentuhan kasih sayang kita. Banyak dari mereka yang miskin, bodoh, terkebelakang dan hidup penuh penderitaan. Mereka menanti uluran tangan kita.

Jika masyarakat muslim Indonesia cerdas, kuat dan berani maka film seperti apapun tidak akan bisa merusak dan memurtadkan mereka. Namun jika masyarakatnya lemah, miskin dan bodoh, jangankan film, sekardus mie instant saja sudah cukup untuk merontokkan iman dan keyakinan mereka.

Referensi : http://islampos.com/

0 komentar:

Posting Komentar